Polisi Pamong Praja didirikan di Yogyakarta pada tanggal 3 Maret 1950.
Istilah Satpol PP mulai terkenal sejak pemberlakuan UU No 5/1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah. Pada Pasal 86 (1) disebutkan, Satpol PP merupakan perangkat wilayah yang melaksanakan tugas dekonsentrasi.
lambang pamong praja 1950:
Saat ini UU 5/1974 tidak berlaku lagi, digantikan UU No 22/1999 dan direvisi menjadi UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam Pasal 148 UU 32/2004 disebutkan, Polisi Pamong Praja adalah perangkat pemerintah daerah dengan tugas pokok menegakkan perda, menyelenggarakan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat sebagai pelaksanaan tugas desentralisasi.
Organisasi dan tata kerja Satuan Polisi Pamong Praja ditetapkan dengan Peraturan Daerah, sehingga antar daerah bisa saja memiliki nama, organisasi, dan tata kerja yang berbeda-beda. (id.wikipedia.org/wiki/Polisi_Pamong_Praja )
Tragedi kerusuhan Tanjung Priok yang terjadi Rabu (14/4) sejak pukul 08.00 WIB, memakan korban tewas, ratusan korban luka ringan maupun berat, baik dari pihak warga maupun Satpol PP dan polisi yang bertugas mengamankan kerusuhan. Polda Metro Jaya mencatat jumlah korban luka mencapai 144 orang yang terluka, terdiri dari 10 anggota polisi, 69 anggota Satpol PP dan 53 orang dari warga. Sementara korban tewas adalah dua orang petugas Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP), yaitu M Soepono dan Ahmad Tadjudin. Bahkan Dua orang anggota DPRD yakni Ida Mahmuda dan Andika juga menjadi korban pemukulan oleh pihak aparat Satpol PP di dalam kerusuhan akibat upaya penggusuran paksa terhadap Makam Mbah Priok atau Habib Hasan bin Muhammad al Haddad di Kecamatan Koja, Jakarta Utara. Padahal, dua orang anggota DPRD DKI tersebut sedang melakukan negosiasi dengan warga yang menjaga makam. “Masyarakat kecewa dengan anarkisme yang ditunjukkan oleh Satpol PP,” kata Ida yang merupakan Ketua Komisi A DPRD itu. (http://alfispace.com/2010/04/kerusuhan-priok-2010/)
wah ..... wah..... kenapa segala seuatu di negeri ini menjadi ricuh ya, apalagi kalau lihat berita di tv yang berhubungan dengan penggusuran/pembebasan lahan/razia pkl/dll yang melibatkan SATPOL-PP banyak berujung dengan bentrokan dan sampai ada korban. apakan memang seperti itu standard prosedurnya !!!! coba saja baca Pasal 148 UU 32/2004 ada kata kata yang berbuny "menyelenggarakan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat "
coba kita lihat seragam Satuan Polisi Pamong Praja ini :
Kenapa ya pol PP ini dilengkapi dengan atribut helm, pentungan, dan tameng, seolah olah mereka memang disiapkan untuk menghadapi kerusuhan dan bentrokan.
Satpol PP sebagai pelayan publik tak seharusnya membawa pentungan dan melempar batu. Satpol PP sebagai pelayan masyarakat harus mengutamakan pendekatan persuasif.
Sat Pol PP di kota solo mungkit bisa di jadikan acuan oleh kota kota lain di negeri ini
"Kami memiliki prinsip '5 si', yaitu komunikasi, koordinasi, sosialisasi, solusi dan realisasi. Melalui prinsip tersebut, berbagai penggususran hunian, PKL atau tempat usaha untuk penataan tata ruang kota di Solo bisa dilakukan secara damai,".
Dalam melakukan penggusuran, satpol PP Solo pun tidak pernah membawa pentungan. Petugas hanya 'bersenjatakan' peluit.
"Pentungan adalah simbol kekerasan. Padahal sisi kekerasan ini harus dihindari, yang lebih penting bagaimana kedua belah pihak saling berkomunikasi. Sehingga ada win-win solution-nya. Jadi dari pemerintah jangan hanya main eksekusi saja," urainya
Berdasarkan pantaun VIVAnews di kantor Satpol PP Solo, sama sekali tidak terlihat peralatan sepeti halnya pentungan, tameng dan baja helm.
Bahkan, Hasta menyuruh VIVAnews mencari alat perlengkapan itu di kantornya. Hasilnya, nihil.
Justru yang berhasil ditemukan hanya peralatan musik untuk upacara. Ada drum, simbal dan terompet.
Selain dibekali peluit, semua aparat Satpol PP Solo diberi bekal buku panduan operasional.
Di dalam buku itu berisi semua standar tugas Satpol PP. Meskipun terdapat standar menggunakan senjata, pentungan, tameng, dan helm baja. Namun, Satpol PP Solo tidak memakainya.
"Ya, karena kami memang tidak memiliki dan tidak memerlukan alat tersebut," kata Hasta.
Selama beberapa tahun terakhir, Satpol PP Solo berhasil melakukan relokasi di beberapa lokasi yang sensitif seperti hunian di bantaran Bengawan Solo, pasar tradisional. Juga relokasi pedagang di monumen Banjarsari yang jumlahnya mecapai ribuan.
Tak ada keributan, bahkan relokasi ini dilakukan dengan cukup meriah, yaitu pawai tradisi dengan gunungan dan pakaian tradisional Jawa.
Satpol PP Solo, kata Hasta, justru menjadi sahabat para demonstran ketika ada demonstrasi.
"Ini senjata kami, air kemasan. Air kemasan ini kami jadikan pendekatan persuasif kepada demonstran. Dalam arti kami memberikannya di kala panas menyengat," kata dia.
Bukannya dihindari, truk Satpol PP selalu dicari demonstran. "Untuk dimintai bantuan untuk memulangkan demonstran ke kampus," ungkapnya, tersenyum.
Karena pendekatan yang persuasif serta membuahkan hasil yang manis, membuat beberapa daerah melakukan studi banding ke Satpol PP Solo.
"Kami baru saja menerima dari Aceh. Jumlah daerah lain yang melakukan studi banding ke Solo tak terhitung. Satpol PP Solo terkenal anti kekerasan. Oleh sebab itu, mereka ingin menirunya," tutup Hasta (http://id.news.yahoo.com/viva/ ...)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar